Cerita Tentang Utang :)
1. Apa yang sebenarnya membuatku
sedih? Bukan
jumlah uangnya. Tapi rasanya seperti tidak dihargai. Ketika aku sudah menekan
kebutuhanku demi membantu, dan dia menganggap itu hal kecil, aku merasa
invisible. Aku hadir saat dia butuh, tapi dia abai ketika aku butuh kepastian.
2. Apa yang aku harapkan darinya,
dan apa yang tak pernah ia berikan? Aku
berharap ada tanggung jawab, kesadaran, atau setidaknya permintaan maaf yang
jujur. Tapi selalu yang datang hanya alasan. Lama-lama aku ragu: dia temanku
atau hanya melihatku sebagai ‘jalan keluar instan’?
3. Apa yang sebenarnya ingin aku
katakan padanya, tapi belum pernah benar-benar aku sampaikan? “Mungkin kamu merasa aku selalu
bisa paham kamu, tapi aku juga manusia. Aku juga butuh dipahami. Setiap kali
kamu tidak menepati janji, rasanya kamu sedang menarik kembali kepercayaanku,
sedikit demi sedikit.”
4. Kenapa aku terus jatuh di lubang
yang sama? Karena
aku punya hati. Dan karena aku ingin percaya bahwa orang bisa berubah. Tapi
kini aku sadar: memaafkan bukan berarti membiarkan diriku terus dilukai. Aku
boleh berhenti, bahkan jika itu membuatku merasa bersalah sebentar. Menolak pun
adalah bentuk cinta pada diriku sendiri.
5. Apa yang bisa kulakukan sekarang
untuk merawat batas sehat dalam diriku?
- Mulai
berani berkata, “Maaf, aku belum bisa bantu.”
- Menulis
setiap kali aku goyah, agar tetap terhubung dengan suara hatiku.
- Belajar
bahwa menjaga jarak bukan berarti berhenti peduli. Tapi itu bentuk
perlindungan atas ruang batin yang terlalu sering diabaikan.
Jika suatu saat tulisan ini sampai
di kamu, maafkan aku sampai nulis di coretan ini. Di sini memang tempat aku
menulis diary, tempat aku curhat. Postingan di blog ini jarang ada yang
berkunjung.
Aku ingin kamu tahu bahwa, “Kebaikanku bukan untuk dimanfaatkan. Aku belajar dari luka ini. Dan sekarang, aku memilih untuk tidak jatuh ke lubang yang sama—bukan karena aku berhenti peduli, tapi karena aku mulai mencintai diriku sendiri.”[]
Tidak ada komentar:
Posting Komentar