Minggu, 01 Juni 2025

Merindukan Cubitan Mak


 

Bagi kebanyakan anak, masa kecil itu isinya hanya bermain. Tapi tidak bagi kami. “Kami” yang kumaksudkan di sini adalah aku dan saudari kembarku. Namaku Siti Hajar, sementara kakakku bernama Siti Sarah. Seperti dalam kisahnya, Siti Hajar dan Siti Sarah adalah istri-istri Nabi Ibrahim. Nama kami memang mengandung cerita, dan hidup kami pun seolah ingin bercerita juga.

Sejak kecil, kami hampir selalu bersama. Main berdua, mencuci baju berdua, bahkan kadang ke sawah pun berdua. Tak perlu dicari—di mana ada si kakak, di situ pasti ada si adik. Kami adalah dua dalam satu langkah.

Anak-anak lain mungkin bebas bermain tanpa dipanggil. Tapi tidak dengan kami. Hampir setiap kali asyik bermain, terdengar suara Mak memanggil dari kejauhan,
Adek, Kakak… woe, siat jaga adek!

Teriakan itu akrab, nyaring, dan tak bisa diabaikan. Bagaimana bisa, kami yang masih kecil, sudah punya adik empat orang yang lebih kecil-kecil lagi. Kebayang, kan? Lagi asik main, lalu diganggu karena harus pulang dan membantu.

Kami pulang. Dengan berat hati, tapi selalu bersama.

Waktu bermain kami memang tidak banyak. Bukan karena kami tak ingin, tapi karena Mak kami terlalu sibuk. Rasanya aku hampir tak pernah melihat beliau duduk santai, apalagi tidur-tiduran. Mana sempat? Beliau mengurus delapan anak, menyiapkan makanan, memandikan anak-anak dan bayi, membantu anak sekolah, dan mengingatkan yang remaja tentang etika. Beliau adalah Ibu yang seluruh waktunya habis untuk anak-anaknya.

Aku teringat suatu hari—sebuah sore yang membekas sampai hari ini.
Waktu itu Mak baru pulang dari sawah. Seperti biasa, sebelum masuk rumah, beliau sudah mengingatkan kami, “Jangan lupa angkat jemuran, hujan kayaknya mau turun.”
Kami mengangguk, lalu kembali larut dalam dunia bermain.

Namun ternyata langit tidak menunggu. Hujan benar-benar turun, deras dan tiba-tiba. Jemuran kami—pakaian yang dicuci sejak pagi—semuanya basah kuyup. Dan sialnya, di rumah sedang ada bayi yang butuh pakaian dan selimut kering.

Kami ketahuan lupa. Dan seperti yang bisa ditebak, kami kena hukuman.

Hukuman itu bukan sekadar omelan atau wajah cemberut. Kami dicubit. Di pangkal paha. Cubitan Mak bukan cubitan biasa. Bekasnya baru hilang dua tahun kemudian. Dua tahun. Rasanya nyaris abadi.

Mak kami memang keras. Kami semua tahu itu. Tapi entah kenapa, aku merasa akulah yang paling merasakannya. Mungkin karena aku lebih sensitif, atau mungkin karena aku memang lebih sering ceroboh. Dulu aku pikir semua ibu di dunia ini seperti itu—keras, galak, bahkan tak segan menyakiti.

Tapi setelah aku dewasa, aku tahu itu tidak benar. Sekeras apapun keadaan, menyakiti anak bukanlah hal yang patut. Aku tahu sekarang, itu tidak dibenarkan. Tapi aku juga tidak menyalahkan Mak.

Aneh ya… Kini aku justru merasa beruntung. Mungkin kalau tidak dididik dengan keras, aku tidak akan menjadi seperti sekarang—kuat, tahan banting, tahu bahwa hidup itu tidak pernah benar-benar mudah, tapi juga tidak harus selalu menyakitkan. Kini Mak sudah tiada. Betapa aku merindukannya. Doaku semoga Allah pertemukan lagi di surga nanti. []

Tidak ada komentar:

Posting Komentar

Tensi Darahku 170

Tensi Darahku 170 Pagi itu aku merasa pusing. Bukan pusing biasa yang bisa kutangani dengan tidur sebentar atau minum teh hangat. Ada sesuat...