Bagi kebanyakan anak, masa kecil itu isinya hanya bermain. Tapi tidak bagi kami. “Kami” yang kumaksudkan di sini adalah aku dan saudari kembarku. Namaku Siti Hajar, sementara kakakku bernama Siti Sarah. Seperti dalam kisahnya, Siti Hajar dan Siti Sarah adalah istri-istri Nabi Ibrahim. Nama kami memang mengandung cerita, dan hidup kami pun seolah ingin bercerita juga.
Sejak kecil,
kami hampir selalu bersama. Main berdua, mencuci baju berdua, bahkan kadang ke
sawah pun berdua. Tak perlu dicari—di mana ada si kakak, di situ pasti ada si
adik. Kami adalah dua dalam satu langkah.
Anak-anak lain
mungkin bebas bermain tanpa dipanggil. Tapi tidak dengan kami. Hampir setiap
kali asyik bermain, terdengar suara Mak memanggil dari kejauhan,
“Adek, Kakak… woe, siat jaga adek!”
Teriakan itu
akrab, nyaring, dan tak bisa diabaikan. Bagaimana bisa, kami yang masih kecil,
sudah punya adik empat orang yang lebih kecil-kecil lagi. Kebayang, kan? Lagi
asik main, lalu diganggu karena harus pulang dan membantu.
Kami pulang.
Dengan berat hati, tapi selalu bersama.
Waktu bermain
kami memang tidak banyak. Bukan karena kami tak ingin, tapi karena Mak kami
terlalu sibuk. Rasanya aku hampir tak pernah melihat beliau duduk santai,
apalagi tidur-tiduran. Mana sempat? Beliau mengurus delapan anak, menyiapkan
makanan, memandikan anak-anak dan bayi, membantu anak sekolah, dan mengingatkan
yang remaja tentang etika. Beliau adalah Ibu yang seluruh waktunya habis untuk
anak-anaknya.
Aku teringat
suatu hari—sebuah sore yang membekas sampai hari ini.
Waktu itu Mak baru pulang dari sawah. Seperti biasa, sebelum masuk rumah,
beliau sudah mengingatkan kami, “Jangan lupa angkat jemuran, hujan kayaknya mau
turun.”
Kami mengangguk, lalu kembali larut dalam dunia bermain.
Namun ternyata
langit tidak menunggu. Hujan benar-benar turun, deras dan tiba-tiba. Jemuran
kami—pakaian yang dicuci sejak pagi—semuanya basah kuyup. Dan sialnya, di rumah
sedang ada bayi yang butuh pakaian dan selimut kering.
Kami ketahuan
lupa. Dan seperti yang bisa ditebak, kami kena hukuman.
Hukuman itu
bukan sekadar omelan atau wajah cemberut. Kami dicubit. Di pangkal paha.
Cubitan Mak bukan cubitan biasa. Bekasnya baru hilang dua tahun kemudian. Dua
tahun. Rasanya nyaris abadi.
Mak kami memang
keras. Kami semua tahu itu. Tapi entah kenapa, aku merasa akulah yang paling
merasakannya. Mungkin karena aku lebih sensitif, atau mungkin karena aku memang
lebih sering ceroboh. Dulu aku pikir semua ibu di dunia ini seperti itu—keras,
galak, bahkan tak segan menyakiti.
Tapi setelah aku
dewasa, aku tahu itu tidak benar. Sekeras apapun keadaan, menyakiti anak
bukanlah hal yang patut. Aku tahu sekarang, itu tidak dibenarkan. Tapi aku juga
tidak menyalahkan Mak.
Aneh ya… Kini
aku justru merasa beruntung. Mungkin kalau tidak dididik dengan keras, aku
tidak akan menjadi seperti sekarang—kuat, tahan banting, tahu bahwa hidup itu
tidak pernah benar-benar mudah, tapi juga tidak harus selalu menyakitkan. Kini Mak
sudah tiada. Betapa aku merindukannya. Doaku semoga Allah pertemukan lagi di
surga nanti. []
Tidak ada komentar:
Posting Komentar