Senin, 02 Juni 2025

Tensi Darahku 170

Tensi Darahku 170

Pagi itu aku merasa pusing. Bukan pusing biasa yang bisa kutangani dengan tidur sebentar atau minum teh hangat. Ada sesuatu yang lain. Pusing itu menyeret rasa kebas di sisi kanan tubuhku—dari kepala, telinga, lengan, hingga kaki. Rasanya seperti ada sesuatu yang tak sinkron dalam tubuh ini, seolah setengahnya sedang memudar. Setelah absen pukul 8.30, aku memutuskan untuk langsung ke UGD.

Tensi darahku 170. Para perawat dan dokter langsung sigap. Mataku menangkap sorot khawatir dari mereka, dan itu memperburuk ketakutanku sendiri. Amlodipin segera diberikan, lalu infus untuk obat neuro. Aku menghabiskan setengah hari di rumah sakit. Dari jam 9 pagi sampai 3 sore, tubuhku seperti medan perang yang tak kasat mata. Diam, tapi ribut di dalam.

Tapi sesungguhnya, lebih ribut lagi isi kepalaku. Aku tahu tekanan darah tinggi bukan hanya soal pusing. Ia seperti bom waktu—bisa meledak dalam bentuk stroke, atau menggerogoti ginjal secara perlahan. Dan aku tahu seperti apa rasanya kehilangan karena ginjal. Dalam keluargaku, dua orang meninggal muda karena gagal ginjal. Mereka menghabiskan tahun-tahun terakhir hidup mereka dengan jadwal cuci darah. Aku melihat sendiri bagaimana tubuh mereka melemah, bagaimana semangat mereka perlahan terkikis, dan itu menakutkan.

Aku tidak ingin menyusul mereka. Aku ingin hidup lebih lama untuk orang-orang yang kucintai. Tapi ketakutan ini nyata. Maka, aku harus belajar lebih mendengarkan tubuhku. Tidak boleh lagi menunda. Tidak boleh lagi menyepelekan. Ini bukan sekadar hari di rumah sakit. Ini peringatan. Alarm. Titik balik.

Semoga aku diberi kekuatan untuk berubah. Bukan hanya agar sembuh, tapi agar hidup ini bisa lebih berarti, lebih disyukuri, dan lebih sehat—secara lahir dan batin. []

Tidak ada komentar:

Posting Komentar

Tensi Darahku 170

Tensi Darahku 170 Pagi itu aku merasa pusing. Bukan pusing biasa yang bisa kutangani dengan tidur sebentar atau minum teh hangat. Ada sesuat...