Tensi Darahku
170
Pagi itu aku
merasa pusing. Bukan pusing biasa yang bisa kutangani dengan tidur sebentar
atau minum teh hangat. Ada sesuatu yang lain. Pusing itu menyeret rasa kebas di
sisi kanan tubuhku—dari kepala, telinga, lengan, hingga kaki. Rasanya seperti
ada sesuatu yang tak sinkron dalam tubuh ini, seolah setengahnya sedang
memudar. Setelah absen pukul 8.30, aku memutuskan untuk langsung ke UGD.
Tensi darahku
170. Para perawat dan dokter langsung sigap. Mataku menangkap sorot khawatir
dari mereka, dan itu memperburuk ketakutanku sendiri. Amlodipin segera
diberikan, lalu infus untuk obat neuro. Aku menghabiskan setengah hari di rumah
sakit. Dari jam 9 pagi sampai 3 sore, tubuhku seperti medan perang yang tak
kasat mata. Diam, tapi ribut di dalam.
Tapi
sesungguhnya, lebih ribut lagi isi kepalaku. Aku tahu tekanan darah tinggi
bukan hanya soal pusing. Ia seperti bom waktu—bisa meledak dalam bentuk stroke,
atau menggerogoti ginjal secara perlahan. Dan aku tahu seperti apa rasanya
kehilangan karena ginjal. Dalam keluargaku, dua orang meninggal muda karena
gagal ginjal. Mereka menghabiskan tahun-tahun terakhir hidup mereka dengan
jadwal cuci darah. Aku melihat sendiri bagaimana tubuh mereka melemah,
bagaimana semangat mereka perlahan terkikis, dan itu menakutkan.
Aku tidak ingin
menyusul mereka. Aku ingin hidup lebih lama untuk orang-orang yang kucintai.
Tapi ketakutan ini nyata. Maka, aku harus belajar lebih mendengarkan tubuhku.
Tidak boleh lagi menunda. Tidak boleh lagi menyepelekan. Ini bukan sekadar hari
di rumah sakit. Ini peringatan. Alarm. Titik balik.
Semoga aku diberi kekuatan untuk berubah. Bukan hanya agar sembuh, tapi agar hidup ini bisa lebih berarti, lebih disyukuri, dan lebih sehat—secara lahir dan batin. []
Tidak ada komentar:
Posting Komentar