Entah kenapa,
tanggal 30 atau tanggal 31 itu terasa berat. Mungkin karena akhir bulan,
mungkin juga karena rasa lelah yang menumpuk diam-diam. Malam itu kami hanya
punya mie instan untuk dimakan bertiga. Aku, Dara, dan Bg Budy duduk di meja
makan menjelang Magrib, menyeruput kuah hangat yang entah kenapa terasa lebih
berarti daripada biasanya. Dara, seperti biasa, tetap merasa lapar meski baru
makan lima belas menit sebelumnya. Aku hanya tersenyum—dia memang begitu, nafsu
makannya kadang bikin geleng-geleng kepala, tapi juga menghibur.
Setelah salat
Isya, kami bertanya-tanya, bagaimana caranya agar Dara bisa tetap jajan.
Ternyata, di balik kesenyapannya, Bg Budy masih menyimpan uang lima ribu
rupiah. Kami pun melangkah ke warung Bang Win dengan niat jajan 15 ribu—dengan
strategi: bayar lima ribu dulu, sisanya utang. Hahaha, sederhana tapi
strategis.
Ternyata, dengan
lima belas ribu saja kami sudah dapat banyak: roti Unibis Bon-Bon, peyek kacang
tiga biji, dan lima buah kue kipang. Kami sudah keluar dari warung dan merasa
cukup senang, sampai mata kami menangkap kantong kerupuk jengek ukuran besar,
harganya lima ribu. Nafsu pun kembali menyeruak. Jadilah utang kami naik jadi
15 ribu, total belanjaan jadi 20 ribu. Masyaallah... dan itu benar-benar banyak.
Yang lebih
mengejutkan: biasanya kami bisa duduk nongkrong di warung sehari dua kali, dan
sekali duduk bisa habis 60–70 ribu. Malam itu kami belajar, ternyata dengan
uang yang jauh lebih kecil, kami tetap bisa tertawa, tetap kenyang, dan tetap
merasa cukup.
Kadang memang
begitu: saat kekurangan, barulah kesadaran itu tumbuh. Betapa banyak rupiah
yang hilang tanpa makna saat dompet masih penuh. Tapi malam itu, dengan mie
instan, jajan utang, dan kerupuk jengek, kami belajar menghargai. Belajar
bersyukur. Dan belajar bahwa kebersamaan, rasa syukur, dan kesederhanaan
ternyata jauh lebih mengenyangkan daripada yang kami kira.
Alhamdulillah besoknya,
kami payday. Saat kembali ke warung Bg Win kami untuk belanja harian kebutuhan
dapur, beras, minyak goreng, telur, tomat dan percabaian, kami langsung bayar
utang semalamnya. Nikmat Allah mana lagi yang kamu dustakan, Hajar ….
Hei… apa kamu
pernah mengalami saat krisis seperti yang aku rasakan? []
Tidak ada komentar:
Posting Komentar