Minggu, 01 Juni 2025

Ibadah Haji dan Undangan Rahasia dari Allah

Haji adalah impian yang senantiasa disematkan dalam hati setiap Muslim, sebuah ibadah puncak yang tidak hanya menyentuh fisik, tetapi menembus langit jiwa. Di Indonesia, impian ini menjelma menjadi perjalanan panjang yang kadang penuh ketidakpastian. Dengan kuota terbatas dan jumlah pendaftar yang luar biasa besar, umat Islam di tanah air harus bersabar—di banyak daerah bahkan harus menanti lebih dari tiga puluh tahun untuk bisa menunaikan ibadah haji melalui jalur resmi yang diselenggarakan pemerintah.

Fenomena antrean panjang ini bukan sekadar soal angka dan birokrasi, tetapi menjadi cermin dari kerinduan yang tulus dan kesabaran yang nyaris tak terbayangkan. Ada yang mulai menabung sejak masa muda, menahan diri dari berbagai keinginan dunia demi satu tujuan: melihat Ka’bah, mencium Hajar Aswad, dan berdiri di Arafah dalam balutan doa paling sunyi. Namun di balik perhitungan waktu dan urusan administratif itu, tersimpan sesuatu yang lebih dalam, lebih lembut, dan sering kali tak bisa dijelaskan hanya dengan logika: panggilan Allah.

Cerita-cerita haji di masyarakat kita selalu sarat dengan nuansa keajaiban. Ada yang mendaftar sejak usia muda, menanti puluhan tahun, namun takdir berkata lain—ia tak sempat berangkat karena dipanggil lebih dulu oleh Allah. Sebaliknya, ada pula yang bahkan belum pernah membayangkan bisa pergi ke tanah suci, tetapi tiba-tiba mendapatkan kesempatan berangkat karena menjadi pendamping orang tua yang sudah lansia. Seorang anak yang baru saja mendaftar bisa langsung diberangkatkan karena sang ayah atau ibu membutuhkan teman dalam perjalanan. Semua itu membuat banyak orang meyakini bahwa haji bukan hanya soal bisa atau tidak, tapi soal diundang atau tidak.

Kita mendengar kisah seorang penjual gorengan di pasar kecil, yang saban hari menyisihkan receh demi receh dari hasil dagangnya. Setelah bertahun-tahun, tanpa disangka, uang itu cukup untuk membawanya ke Baitullah. Ada pula cerita tentang seseorang yang tidak pernah terpikir akan berhaji, karena kehidupannya begitu sederhana. Namun tiba-tiba, anaknya yang selama ini diam-diam menabung, mendaftarkan dan memberangkatkannya. Di sisi lain, ada pula yang sudah sangat mampu secara ekonomi, tapi selalu menunda dengan alasan pekerjaan, kenyamanan, atau belum merasa siap—hingga akhirnya tak sempat berangkat karena usia atau kesehatan tak lagi bersahabat.

Semua kisah itu memberi satu pelajaran penting: bahwa haji adalah misteri yang hanya Allah yang tahu kapan dan bagaimana panggilan itu datang. Dan ketika panggilan itu benar-benar datang, semuanya akan terasa ringan, mengalir, dan seolah-olah pintu langit terbuka tanpa rintangan. Maka tak heran jika begitu banyak jemaah yang menangis saat pertama kali melihat Ka’bah. Tangis itu bukan sekadar karena telah sampai, tapi karena mereka sadar—bahwa mereka telah diundang. Undangan itu bukan karena banyaknya uang atau kuatnya usaha, tapi karena kehendak Ilahi yang menyentuh hati.

Ibadah haji sendiri menyimpan banyak rahasia yang menyentuh sisi terdalam kehidupan manusia. Dalam balutan kain ihram putih yang sederhana, manusia dilepas dari segala simbol status dan kebanggaan dunia. Semua menjadi sama: hamba. Tak ada gelar, tak ada pangkat, tak ada perhiasan. Hanya niat dan hati yang berserah. Ketika thawaf, kita diajak mengelilingi Ka’bah seperti planet yang mengelilingi porosnya, sebagai isyarat agar hidup kita senantiasa berpusat pada keesaan-Nya. Sa’i dari Shafa ke Marwah bukan sekadar ritual lari-lari kecil, tapi pelajaran abadi dari seorang ibu, Siti Hajar, tentang keikhlasan, usaha, dan harapan yang tak pernah padam.

Wukuf di Arafah menjadi titik paling sakral dari seluruh rangkaian haji. Di sanalah manusia benar-benar berdiri sebagai dirinya yang paling jujur. Doa mengalir, air mata jatuh, dan langit seolah menjadi sangat dekat. Melempar jumrah pun tak sekadar simbol, tapi ajakan untuk melawan semua bisikan dan godaan dalam hidup ini—bukan hanya yang tampak, tapi juga yang bersembunyi dalam diri: ego, iri, dan amarah.

Dan ketika semua ritual usai, para jemaah pulang ke tanah air dengan gelar "haji" atau "hajjah". Namun hakikat sejati bukanlah gelar itu, melainkan bagaimana hati mereka berubah. Haji yang mabrur tidak diukur dari oleh-oleh yang dibawa, melainkan dari perilaku yang lebih lembut, tutur kata yang lebih santun, dan kepasrahan yang lebih tulus dalam menjalani hidup.

Di negeri ini, haji bukan sekadar kewajiban agama. Ia adalah impian kolektif, simbol keberhasilan, dan sekaligus bukti bahwa perjalanan spiritual tak bisa ditebak jalannya. Bahwa di atas segala rencana manusia, ada kehendak Tuhan yang jauh lebih luas. Maka jika kamu hari ini belum dipanggil, jangan kecil hati. Bisa jadi Allah sedang mempersiapkanmu—agar saat waktunya tiba, kamu datang sebagai hamba yang benar-benar siap, dalam kondisi paling jujur dan bersih.

Sebab haji, pada akhirnya, adalah jawaban dari rindu yang telah lama disimpan dalam diam. Ia adalah panggilan. Dan ketika panggilan itu datang, seluruh alam semesta seolah membisikkan, “Selamat datang, wahai jiwa yang rindu.” [] 

Tidak ada komentar:

Posting Komentar

Tensi Darahku 170

Tensi Darahku 170 Pagi itu aku merasa pusing. Bukan pusing biasa yang bisa kutangani dengan tidur sebentar atau minum teh hangat. Ada sesuat...