Haji adalah impian yang senantiasa disematkan dalam hati setiap Muslim, sebuah ibadah puncak yang tidak hanya menyentuh fisik, tetapi menembus langit jiwa. Di Indonesia, impian ini menjelma menjadi perjalanan panjang yang kadang penuh ketidakpastian. Dengan kuota terbatas dan jumlah pendaftar yang luar biasa besar, umat Islam di tanah air harus bersabar—di banyak daerah bahkan harus menanti lebih dari tiga puluh tahun untuk bisa menunaikan ibadah haji melalui jalur resmi yang diselenggarakan pemerintah.
Fenomena antrean
panjang ini bukan sekadar soal angka dan birokrasi, tetapi menjadi cermin dari
kerinduan yang tulus dan kesabaran yang nyaris tak terbayangkan. Ada yang mulai
menabung sejak masa muda, menahan diri dari berbagai keinginan dunia demi satu
tujuan: melihat Ka’bah, mencium Hajar Aswad, dan berdiri di Arafah dalam
balutan doa paling sunyi. Namun di balik perhitungan waktu dan urusan
administratif itu, tersimpan sesuatu yang lebih dalam, lebih lembut, dan sering
kali tak bisa dijelaskan hanya dengan logika: panggilan Allah.
Cerita-cerita
haji di masyarakat kita selalu sarat dengan nuansa keajaiban. Ada yang
mendaftar sejak usia muda, menanti puluhan tahun, namun takdir berkata lain—ia
tak sempat berangkat karena dipanggil lebih dulu oleh Allah. Sebaliknya, ada
pula yang bahkan belum pernah membayangkan bisa pergi ke tanah suci, tetapi
tiba-tiba mendapatkan kesempatan berangkat karena menjadi pendamping orang tua
yang sudah lansia. Seorang anak yang baru saja mendaftar bisa langsung
diberangkatkan karena sang ayah atau ibu membutuhkan teman dalam perjalanan.
Semua itu membuat banyak orang meyakini bahwa haji bukan hanya soal bisa atau
tidak, tapi soal diundang atau tidak.
Kita mendengar
kisah seorang penjual gorengan di pasar kecil, yang saban hari menyisihkan
receh demi receh dari hasil dagangnya. Setelah bertahun-tahun, tanpa disangka,
uang itu cukup untuk membawanya ke Baitullah. Ada pula cerita tentang seseorang
yang tidak pernah terpikir akan berhaji, karena kehidupannya begitu sederhana.
Namun tiba-tiba, anaknya yang selama ini diam-diam menabung, mendaftarkan dan
memberangkatkannya. Di sisi lain, ada pula yang sudah sangat mampu secara
ekonomi, tapi selalu menunda dengan alasan pekerjaan, kenyamanan, atau belum
merasa siap—hingga akhirnya tak sempat berangkat karena usia atau kesehatan tak
lagi bersahabat.
Semua kisah itu
memberi satu pelajaran penting: bahwa haji adalah misteri yang hanya Allah yang
tahu kapan dan bagaimana panggilan itu datang. Dan ketika panggilan itu
benar-benar datang, semuanya akan terasa ringan, mengalir, dan seolah-olah
pintu langit terbuka tanpa rintangan. Maka tak heran jika begitu banyak jemaah
yang menangis saat pertama kali melihat Ka’bah. Tangis itu bukan sekadar karena
telah sampai, tapi karena mereka sadar—bahwa mereka telah diundang. Undangan
itu bukan karena banyaknya uang atau kuatnya usaha, tapi karena kehendak Ilahi
yang menyentuh hati.
Ibadah haji
sendiri menyimpan banyak rahasia yang menyentuh sisi terdalam kehidupan
manusia. Dalam balutan kain ihram putih yang sederhana, manusia dilepas dari
segala simbol status dan kebanggaan dunia. Semua menjadi sama: hamba. Tak ada
gelar, tak ada pangkat, tak ada perhiasan. Hanya niat dan hati yang berserah.
Ketika thawaf, kita diajak mengelilingi Ka’bah seperti planet yang mengelilingi
porosnya, sebagai isyarat agar hidup kita senantiasa berpusat pada keesaan-Nya.
Sa’i dari Shafa ke Marwah bukan sekadar ritual lari-lari kecil, tapi pelajaran
abadi dari seorang ibu, Siti Hajar, tentang keikhlasan, usaha, dan harapan yang
tak pernah padam.
Wukuf di Arafah
menjadi titik paling sakral dari seluruh rangkaian haji. Di sanalah manusia
benar-benar berdiri sebagai dirinya yang paling jujur. Doa mengalir, air mata
jatuh, dan langit seolah menjadi sangat dekat. Melempar jumrah pun tak sekadar
simbol, tapi ajakan untuk melawan semua bisikan dan godaan dalam hidup
ini—bukan hanya yang tampak, tapi juga yang bersembunyi dalam diri: ego, iri,
dan amarah.
Dan ketika semua
ritual usai, para jemaah pulang ke tanah air dengan gelar "haji" atau
"hajjah". Namun hakikat sejati bukanlah gelar itu, melainkan
bagaimana hati mereka berubah. Haji yang mabrur tidak diukur dari oleh-oleh
yang dibawa, melainkan dari perilaku yang lebih lembut, tutur kata yang lebih
santun, dan kepasrahan yang lebih tulus dalam menjalani hidup.
Di negeri ini,
haji bukan sekadar kewajiban agama. Ia adalah impian kolektif, simbol
keberhasilan, dan sekaligus bukti bahwa perjalanan spiritual tak bisa ditebak
jalannya. Bahwa di atas segala rencana manusia, ada kehendak Tuhan yang jauh
lebih luas. Maka jika kamu hari ini belum dipanggil, jangan kecil hati. Bisa
jadi Allah sedang mempersiapkanmu—agar saat waktunya tiba, kamu datang sebagai
hamba yang benar-benar siap, dalam kondisi paling jujur dan bersih.
Sebab haji, pada akhirnya, adalah jawaban dari rindu yang telah lama disimpan dalam diam. Ia adalah panggilan. Dan ketika panggilan itu datang, seluruh alam semesta seolah membisikkan, “Selamat datang, wahai jiwa yang rindu.” []
Tidak ada komentar:
Posting Komentar